Rabu, 18 Januari 2012

Nasib Anak Bangsa(ku)

tulisan ini hanyalah copas, dari sini, sebagai usaha untuk bisa membantu sesama meski di seberang lautan sana. semoga bisa membantu pendidikan anak-anak nelayan di makassar...ayo rame-rame ke TKP temans..

Temanku sedang kebingungan. Anaknya sebentar lagi mau masuk sekolah dan dia bingung mau pilih sekolah yang mana yang cocok untuk anaknya. Ada banyak pilihan, mulai dari yang pakai metode Montessori, sekolah alam, not-so-home school, sampai inpres.
Buset, mau belajar abjad saja susah banget sekarang.

Maka terkenanglah saya pada sebuah sekolah yang lain. Namanya Ruma Sokola Makassar.
Ini adalah sebuah sekolah alternatif yang didirikan tahun 2004 oleh sejumlah relawan untuk menampung anak-anak putus sekolah di kawasan yang bersebelahan dengan salah satu perumahan termewah di Makassar, Sulawesi Selatan.
Diasuh oleh sejumlah sukarelawan dan merupakan bagian dari komunitas SOKOLA yang digagas oleh Butet Manurung.
Dengan kurikulum yang tak mengacu pada kurikulum sekolah biasa, Ruma Sokola memberi kebebasan pada siswa untuk belajar sesuka hati. Ada empat kelas yang menjadi acuan. Pukul delapan pagi, playgroup untuk usia empat hingga enam tahun. Kelas literasi dengan materi membaca, menulis, dan berhitung untuk usia enam ke atas pada pukul 10 sampai 12 siang. Bahasa Arab (mengaji) pada pukul empat sore. Dan keterampilan komputer untuk usia belasan pada pukul enam sore.

Ruma Sokola ini disebut juga Sekolah Pesisir, karena tempatnya memang di pesisir. Gambaran lebih lengkap, saya kutipkan tulisan kawan saya Dwiagustriani Darmawan sebagaimana pernah dimuat di portal Panyingkul:
Anak-anak itu berasal dari kelurahan Kampung Buyang dan Kelurahan Lette, Kecamatan Mariso. Kelurahan yang berada pada pesisir Pantai Losari. Letaknya hanya tiga blok dari Gelanggang Olahraga Andi Matalatta. Kelurahan yang berada di Jalan Nusa Indah ini memang tak tampak kumuh jika dilihat dari sisi depan.
Rumah-rumah mewah berdesain menarik masih mudah ditemui beberapa ratus meter di sepanjang jalan masuk ke kawasan ini dari arah Jalan Cendrawasih. Taman Kanak-kanak “Santa Anna” yang elit bahkan tampak berdiri anggun. Namun, hanya 50 meter dari TK swasta yang mahal itu tersaji pemandangan yang berbeda 180 derajat.
Di sana terlihat sebuah gapura tua dengan papan penunjuk jalan bertuliskan “Nusa Indah Satu”.
Memasuki lorong selebar dua meter itu, rumah-rumah tampak berdiri saling berhimpit. Jaraknya hanya kira-kira 30 sentimeter antara satu rumah dengan rumah yang lain.
Seng yang termakan karat berwarna cokelat kemerahan menjadi atap yang menaungi rumah-rumah itu. Beberapa lubang di atasnya membentuk bulatan kecil, tempat cahaya menerobos ke lantai. Tentunya di saat hujan turun, para penghuni rumah sibuk menadah air hujan. Tripleks dan papan tipis yang berfungsi sebagai dinding rumah.

Sisi kanan-kiri jalan dipenuhi air selokan yang kental kehitaman, yang tak mengalir. Bau tajam menyeruak. Sampah plastik deterjen, bungkus plastik mi instan, dan makanan ringan mengambang di atas selokan. Tinggi air itu hanya sejengkal dari bibir jalan. Pemandangan anak-anak yang buang hajat di lubang selokan di satu sisi jalan dan warga yang membakar ikan di sisi jalan yang lain, menjadi hal lumrah.
Jalanan kecil ini kemudian menyempit saat mencapai ujungnya, dan bahkan memotong kolong rumah warga. Rumah di sepanjang lorong itu mayoritas berbentuk rumah panggung. Jumlah anggota keluarga yang banyak dengan rumah yang terlalu sempit memaksa warga memanfaatkan kolong rumah mereka untuk ditinggali.
Tak jarang ruang tamu rumah sebelah harus berhadapan langsung dengan comberan rumah yang lain. Ketika musim hujan air selokan meluap, membanjiri lantai rumah warga. MCK dan sanitasi di daerah ini menjadi sesuatu yang asing. Mereka lebih memilih untuk buang hajat di selokan atau di genangan air laut yang tak mengalir.
Daerah sekitar kelurahan ini awalnya merupakan laut dalam, yang sekaligus menjadi pusat mata pencaharian penduduk yang menjadi nelayan. Namun, reklamasi pantai mengharuskan mereka beralih mata pencaharian. Pembangunan Jalan Metro Tanjung Bunga yang membelah lautan da terhubung hingga Kabupaten Gowa menyebabkan terjadinya pendakalan sekitar Kampung Buyang. Limbah yang dulunya mengalir ke laut lepas, kini terhalangi oleh pembangunan jalan itu. Jadilah kini limbah itu menggenang di pesisir Kampung Buyang. Daerah itu pun menjadi makin kumuh dan kotor.
Tentu saja sulit bagi para nelayan lokal mengharapkan hasil laut yang memadai di perairan yang makin dangkal dan tercemar. Hanya nelayan yang berperahu mesin yang dapat terus bertahan dengan menjelajah hingga ke laut lepas. Sedangkan para nelayan kecil harus beralih menggeluti kerja kasar. Buruh bangunan, tukang becak, berjualan ikan, atau berjualan buah dan jagung rebus menjadi alternatif pekerjaan, yang menurut mereka penghasilannya jauh lebih rendah.
Kehidupan yang makin sulit inilah yang dituturkan anak-anak yang belajar di Ruma Sokola, serta anak-anak Kampung Buyang lainnya yang saya temui. Mereka terpaksa berhenti sekolah karena kekurangan biaya. (Ayo Ke Ruma Sokola, Dwiagustriani Darmawan, )


Iya, di sekolah pesisir inilah anak-anak itu menyambung mimpinya untuk hidup yang lebih baik. Nyaris, hanya sekolah inilah yang akan menjadi jalan keluar mereka. Orangtua mereka yang dulu pada umumnya adalah nelayan, harus kehilangan mata pencaharian karena laut yang mendangkal dan tergenang akibat pembangunan Jalan Metro. Di jalan inilah kemudian juga berdiri Trans Studio Makassar, salah satu ikon kota Makassar yang modern dan glamour.
Dulu, saya sering bertandang ke sekolah ini, karena jatuh cinta pada seorang perempuan yang menjadi relawan pengajar di sana. Saya sering menungguinya mengajar dan sesekali bermain dengan murid-murid Ruma Sokola. Saat kami berdua pulang, anak-anak itu akan mengantar kami sampai ke ujung gang, sampai kami naik angkot dan menghilang dari pandangan.
Terakhir saya ke situ sekitar tahun 2006 atau 2007, waktu itu saya ditugaskan oleh kantorku untuk membuat dokumenter tentang Sekolah Alternatif. Beberapa anak-anak yang sudah besar masih mengenaliku dan menanyakan kemana kakak yang dulu sering datang bersamaku.

Dan sekarang, saya baru mendengar kabar lagi tentang sekolah ini. Kabar yang tidak terlalu mengenakkan dari teman-teman di dunia maya.
Sekolah yang berupa rumah panggung kayu ini ini harus pindah pada bulan Mei 2012 karena pemilik tanah tempat sekolah ini selama ini berdiri, memiliki rencana lain atas tanahnya. Dan mereka pun harus berpikir keras bagaimana memindahkan rumah belajar ini ke lokasi lain.
Para pengelola dan relawan sekolah pesisir ini sedang mengupayakan untuk bisa membeli sepetak tanah untuk pembangunan rumah belajar yang baru, agar tak lagi berpindah-pindah dan bisa lebih leluasa berkegiatan. Rencananya lokasi rumah belajar yang baru itu tak jauh dari tempat sekarang.
Beberapa komunitas yang ada di kota Makassar telah menyatakan dukungannya dan akan membantu dalam penggalangan dana. Komunitas Blogger Makassar, Angin Mammiri, akan membantu dalam acara tersebut. Juga dari kawan-kawan di Kampung Buku dan Tanah Indie yang menyediakan tempat untuk pengumpulan pakaian layak pakai dan donasi-donasi. Selain itu Komunitas Merajut Makassar juga telah mempersiapkan rajutan-rajutan mereka yang akan dilelang dan dijual sebagai donasi untuk sekolah pesisir ini. Teman-teman dari komunitas fotografi juga menyumbangkan beberapa foto terbaik mereka yang bisa dilelang dan dijual di acara penggalangan dana nanti. Dan masih banyak lagi kawan-kawan individu dan komunitas yang bersedia membantu.
Sekolah ini memang hanya semacam bangunan sederhana yang dibangun di atas tanah yang tergenang air. Yang dulunya laut. Tak ada Montessori, Margaret Mead, atau bahkan Paulo Freire di sini.
Setiap hari, anak-anak yang datang belajar hanya berbekal cita-cita, dan mungkin sekotak nasi jika masih ada lebihan yang bisa dibawa dari rumah.

Saya mohon maaf sebelumnya jika harus meng-tag atau menyebutkan nama beberapa orang di sini, karena saya berpikir mungkin sahabat sekalian bisa membantu anak-anak Sekolah Pesisir ini melanjutkan pendidikannya. Barangkali ada di antara sahabat saya yang baik hatinya ini berkelebihan atau punya akses ke CSR perusahaan tempat bekerja masing-masing. Tolong kabarkanlan kisah ini.
Silakan berkunjung ke http://sekolahpesisir.wordpress.com untuk langkah-langkah terbaik yang mungkin bisa sahabat-sahabat sekalian lakukan.
Salam,
Ochan

1 komentar:

  1. Assalamu'alaikum,,,
    Subhanallah...
    Ternyata,,,masih banyak orang2 berhati mulia di negeri kita Indonesia ini ya Mbak. T_T
    Majulah Bangsaku, Jayalah Negeriku...

    BalasHapus